Minggu, 05 April 2009

DRIVING MISS JOJO (part I)

Pengalaman mengantar jemput sekolah putriku adalah pengalaman yang unik, walaupun jarak sekolahnya relative dekat dengan rumah, dan waktu yang dibutuhkan sangat pendek, tetapi pengalaman ini sangat menyenangkan. Apalagi saat udara sejuk, angin semilir, dan udara bersih tanpa bau sampah atau bakaran sampah orang lain. Pasti putriku memilih mengendarai motor daripada mobil. Bahkan satu saat nanti kami akan bersepeda ke sekolah katanya.
Di jalan, tentunya setelah berdoa, kami selalu bercakap-cakap, banyak pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Dari kejadian sehari-hari, sampai hal-hal yang mendunia. Cerewet memang. Kadang kala pertanyaan-pertanyaan itu sulit dijawab dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari perjalanannya. Tapi selama ini aku berusaha menyelesaikan puzzlenya dalam satu kali jalan.
Satu hari dia bertanya, “Bu, kenapa Ibu ‘gak cerai saja dengan Papa?...Papanya temen aku cerai dengan Mamanya soalnya mereka selalu tinggal berjauhan, ‘gak pernah serumah” Wow, sempet kesel juga pagi-pagi mendapat pekerjaan yang sulit. Tapi PR adalah PR harus diselesaikan. Aku balik bertanya, “Emang mau kamu punya oaring tua yang cerai?”. “Mau , Bu…’kan rumahnya jadi dua, Papanya jadi dua. Enaknya lagi kalo bosen ama Mamanya, temen aku bisa tinggal di Papanya. Minta uang jajannya juga jadi bisa dua kali”, jawabnya polos. Aduh, ini sih musti putar otak dulu. Akhirnya kami sampai di sekolah. Dia turun dari boncenganku dan menjulurkan tangannya, “Bu, jajannya mana?… Assalamualaikum”, sambil mengambil uang sakunya ia tertawa-tawa. Entah karena senang telah membuatku terdiam atau memang senang bisa membuat keributan di sekolah seperti aku dulu.
Ketika tiba saatnya pulang sekolah, HP-ku berdering, tanda tugas muliaku memanggil. SMS dari Miss Jojo: “Mam cpt jmpt”. Aku bereskan buku-buku yang berserakan di meja kantor dan berbegas menuju sekolah. Untungnya jam istirahat kantor jadi semua orang bebas melakukan kegiatan pribadinya. Mulai dari salat sampai menenangkan cacing perut. Aku memilih menjalankan tugas muliaku, driving Miss Jojo home. Biar panas dan hujan. Namanya saja tugas mulia, perlu keteguhan hati dan tetap harus dijalankan.
Tiba di depan sekolahnya, putriku berlari-lari masih dengan pipinya yang tembem, dan gigi ompongnya. Langsung dia naik motor dan mulai bercerita tentang aktivitasnya di sekolah. Hal pertama yang dilakukannya memamerkan uang sakunya yang masih kembalian, artinya dia bisa menabung hari itu. Tiba-tiba dia bertanya lagi, “Mim, gimana mim, jadi ‘gak cerai?” tanyanya santai. Aku tergelak. Dia ikut tertawa. “Mbak, emang tahu artinya cerai?”, tanyaku. Dia menggeleng dan menyatakan ketidaktahuannya. “Mbak, cerai itu artinya Mama & Papa bukan hanya tidak satu rumah, tapi kita tidak boleh serumah lagi, karena ikatan pernikahan kita sudah putus. Mama & Papa ‘gak bisa manja-manjaan lagi. Kerja Mama & Papa membesarkan kamu jadi lebih repot lagi karena harus berdiskusi jarak jauh terus. Kalau kamu kepengen punya rumah banyak, bisa liburan kesana-kemari bukan cerai solusinya, tapi doakan Papa & Mama supaya banyak rejekinya jadi kita bisa beli rumah lagi, bisa jalan-jalan bertiga ke mana pun kamu mau. Kalau pengen jajan lebih banyak, jangan melanggar aturan. Jadi tidak ada hukuman pemotongan uang jajan. Kata siapa enak punya orang tua cerai, nanti kita ‘gak bisa tidur bertiga lagi dan begadang sampai malam kalau malam minggu. Soalnya orang cerai tidak boleh berguling-gulingan di kasur, seperti apa yang biasa kita lakukan tiap Papa pulang. OK, Mbak?”, aku mengakhiri ceritaku sambil memakir motor didepan warung bakso favorit Miss Jojo. Tampak sinar di mata bulatnya, bahagia. Entah karena akan makan bakso, atau sudah menentukan pilihannya. Pelajaran kehidupan memang tidak ada bukunya. Semoga putriku bisa mengambil hikmahnya.

SALUTE TO NATURE



Sejenak kita terhenyak dengan kenyataan yang ada, ketika sebuah bencana alam terjadi di tengah kota, kita baru menyadari bahwa betapa lalainya kita sebagai manusia. Betapa naifnya kita saat itu ketika kita memandang ketidakmungkinan. Sehebat apapun sebuah bangunan, sebuah alat, sebuah tenologi itu semua hanya buatan manusia. Manusia bukanlah Tuhan Sang Maha Sempurna. Oleh karenanya kita tidak boleh lalai. Lalai dalam memantau keadaan sekeliling kita. Baik itu secara fisik maupun moral. Betapa sulitnya mengatakan kepada manusia betapa pentingnya menjaga hubungan.

Alam di satu sisi adalah rekan manusia dalam berkehidupan. Alam membantu kelangsungan hidup manusia. Alam memberi makan manusia dan memberikan semua kebutuhan manusia, baik sandang, pangan, maupun papan. Bahkan alam mampu menjadi alarm bagi manusia saat akan terjadi sebuah bencana. Alam tidak serta merta marah tanpa sebab. Sayangnya di satu sisi manusia kurang tepa sliro, kurang tanggap, dan kurang peduli dengan segala kebaikan alam. Membaca karya Sonny Keraf (2002) tentang Etika Lingkungan, beliau menjelaskan tiga hal yang banyak dilupakan oleh manusia.

Pertama, respect for nature, menghargai alam sebagaimana alam telah berikan kepada kita. Ketika kita mengambil air maka kita harus mau menanam lereng-lereng pegunungan sebagai lahan penyangga dan menjaga daerah sekitar tempat mata air dan aliran sungai. Kedua, moral responsibility for nature, hal ini membuktikan bahwa manusia adalah kalifah/pemimpin di muka bumi ini. Memiliki akal untuk memikirkan tanggung jawab social kita kepada alam yang telah membesarkan manusia selama ini. Manusia yang bertanggung jawab akan memulai hidupnya dengan tidak membuang sampah sembarangan, memilah sampahnya, menggunakan air dan listrik secara bijak. (Apakah anda salah satu orang yang aktif dalam Earth Hour tgl 28 Maret kemarin?). Ketiga, cosmic solidarity. Secara sadar kita tahu bahwa setiap kejadian di dunia ini saling berhubungan. Seperti efek domino, pemanasan global dipercaya oleh orang-orang Hollywood, akan membuat bumi menjadi seperti apa yang ada di film “Waterworld” karena semakin luaslah daerah perairan di muka bumi ini setelah mencairnya kutub utara akibat pemanasan global.

Oleh karenanya pendidikan akan lingkungan bukan harus menjadi sebuah mata pelajaran di sekolah, namun sudah harus menjadi bagian dari setiap keluarga di Indonesia. Membuang sampah pada tempatnya, adalah hal pertama yang harus diajarkan kepada balita kita. Dengan demikian kita tidak menciptakan generasi penyampah dunia. Save the earth for next generation!