Selasa, 09 Juni 2009

Hormatku, Bapak...

Bapakku, orang yang aku panggil bapak ini buka bos aku tapi kerjanya memaksakan visi misinya pada diriku. Dia juga mandor aku kerjanya jauh atau dekat memantau gerak-gerik aku. Dia juga memberi aku uang untuk sekolah, kuliah, jajan dan belanja saat Lebaran tapi bukan manajer SDM. Bapakku seorang manusia komplit. Bapakku cuma orang biasa tapi teman-temannya dari berbagai kalangan, ada golongan bawah ada juga pejabat dan jenderal. Kadang aku penasaran Bapakku itu pangkatnya apa. Sampai satu hari aku baca kartu namanya yang jaman tahun 70-an merupakan lambang prestise seseorang. Jadi bapak saat itu “orang gedean”, bukan badannya yang gede tapi tanggung jawabnya. Di kartu tertulis nama beliau dengan ejaan lama tentunya, Soeryo Soedibyo. Di bawahnya ada tulisan: “penasehat”. Nah, bingung lah diriku. Akhirnya aku putuskan untuk bertanya pada kakakku yang tertua. Dia memang paling tua diantara anak-anak Bapak sekaligus yang aku anggap kompeten menjelaskan arti “penasehat” di kartu nama Bapak. Ternyata dia menjawab, “Bapak tuh pangkatnya Teng Jend, artinya kamu belum bisa paham”. Dulu aku cuma menurut saja dengan takzim takut disangka bodoh dan malas diolok-olok oleh keempat kakakku. Sampai saat aku kelas 6 SD sebelum ujian aku disuruh guruku, Bu Harni, untuk mengisi formulir supaya tulisan di ijazah nanti benar katanya. Nah, karena aku merasa sudah paham akan seluk beluk keluargaku maka aku memutuskan mengisinya sendiri sebelum dicek oleh ibuku nanti di rumah. Pada kolom namaku, alamatku, tempat tanggal lahir dan nama orang tua aku jelas lancar, sampai di kolom pekerjaan orang tua, aku ragu-ragu, tapi aku ingat kata-kata sacral kakakku, maka dengan gagah aku tulis “Teng Jend” pada kolom tersebut. Saat itu anak-anak seusiaku hobi mengolok-olok nama orang tua jadi kertas itu aku jaga baik-baik sebab mengandung nama baik keluargaku. Tapi malang seribu kali sayang, Agus Budi teman sekelasku berhasil mengintip dan menyebarkan kehormatan keluargaku itu. Ramai lah kelasku karena berhasil menemukan kehormatan keluargaku. “Hei, Dibyo!” , Agus berteriak-teriak meledek aku yang speechless bercampur marah. Tiba-tiba Rudy teman sebangkuku bertanya pada Agus tentang pekerjaan Bapakku, terbongkar lagi rahasia keduaku di hadapan kelas 6 yang semakin riuh…tapi Rudy berkernyit, “Teng Jend itu Jenderal yah?” tanyanya pada gank anak-anak cowok yang sedang terkena euphoria karena berhasil menguak rahasiaku. Langsung saja aku sahut dengan galaknya, kalah singa betina dengan teriakanku saat itu, “iya, teng jen itu centeng jendraaaaal!! Lebih hebat dari jendral manapun juga, bintangnya saja ada 7, tauk!!’. Sejak saat itu aku lah anak yang paling gagah di kelas karena aku punya ayah jenderal bintang tujuh. Walaupun ketika di rumah, saat aku menceritakan pengalamanku di depan kakak-kakakku dan ibu ku mereka semua sakit perut dan terbahak-bahak. Aku tetap bangga dengan Bapakku.
Bapak memang komplit. Beliau super dad bagi kami. Jago nyanyi , jago nyetir, dan jago masak. Pernah saat bulan puasa Ibu kami sakit dan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Terpaksa kakakku yang tertua membagi tugas kepada kami begundal-begundil anak buahnya. Aku paling kecil pasti kebagian jatah membereskan meja makan. Paling mudah tapi repot. Repot karena aku malas bolak balik ruang makan dan dapur membawa piring, gelas, makanan dan lain-lain disertai wejangan-wejangan keempat mandor dadakanku. “Awas, pecah”, “Ati-ati tumpah”. “Liat-liat posisi piring dan garpu,jangan terbalik”. “jangan lupa nasinya” dan masih 1001 wejangan yang aku malas tuliskan karena bisa menghabiskan banyak halaman dan membuatmu bosan membacanya. Bapak memasak mulai jam 3 pagi sampai hampir imsak karena Bapak adalah koki yang perfeksionis. Jadi akhirnya kami makan sahur dengan full speed balapan dengan saat imsak. Tidak boleh marah, bahkan menggerutu karena ini masakan chef terhebat sedunia, demikian penjelasan Bapak sebelum kami makan. Hanya kakak laki-lakiku yang berani manyun, karena setelan dari sononya sudah manyun dan Bapak juga maklum adanya. Bukan karena dia anak emas, sebab kami tau anak emasnya adalah kakakku yang tertua walaupun kulitnya tak secerah yang lain.
Lain waktu, di hari minggu yang cerah. Saat kami diijinkan bangun sesiang-siangnya. Bapak membangunkan kami dan memaksa kami untuk tidak mandi hanya diijinkan gosok gigi. Bahkan tidak ada ijin untuk mengganti piyama kami. Kata beliau kami akan makan soto jenis baru. Wah, berhubung kami penasaran kami bergegas. Di Surabaya, kota tercintaku, pagi-pagi memang wajib makan Soto Madura plus koya, pake nasi yang berbentuk pyramid dibungkus pake daun pisang, sedap. Siang, enaknya makan bakwan malang atau rujak petis atau lontong balap. Malam-malam makan sego goring, sego bebek, atau pecel lele. Kalo ngiler segeralah ke Surabaya. Kita kembali ke kisah happy di hari minggu keluarga kami. Bapak mengeluarkan mobil Kingswood-nya kami semua beramai-ramai masuk dengan tertib. Sebagai anak bungsu aku mendapat kehormatan duduk di depan dengan Ibuku, karena kursi belakang penuh. Setelah berputar-putar, kami menemukan tempat yang dimaksud Bapak. “Nah, itu tempatnya! Disini jualan SOTO MASIH ADA”, dengan bangga Bapak memarkir mobil kami dan turun dengan semangat 45. Kami yang sudah kesal, terpaksa turun. Memangnya kami gak tau apa kalo selama ini plang tempat soto memang tulisannya “SOTO MASIH ADA” bukan “SOTO MADURA”. Tapi untuk membesarkan hati Bapak, kami memuji kelezatan Soto jenis baru hasil temuannya. Kami memuja Bapak seakan-akan Bapak adalah Dubois yang menemukan Pithecantropus Sotoensis.
Saat Bapak menghadap sang Maha Tinggi. Jenderal segala jenderal. Zat yang sangat diagungkan oleh Teng Jend-ku. Aku sibuk menahan luka. Ternyata Bapakku memang Jenderal. Upacara penguburannya disaksikan beberapa angkatan dari TNI. Dipimpin oleh Jenderal bintang tiga. Diberi sambutan oleh profesor. Dipandu oleh voreder yang menarik perhatian kota kecil tempat kami tinggal, dan dikelilingi oleh orang-orang yang menghormatinya. Ada tukang becak yang biasa nangkring di depan rumah, ada tetangga yang hidupnya susah dan pernah dibantu Bapak, ada mantan anak didiknya, juga ada kami, anak dan cucunya yang tak berani menangisinya. Takut beliau bangkit dari kubur melihat kami menangis. “Jangan cengeng kamu!”, bentaknya. Jangan sekali-kali melawan Bapak walaupun sudah tiada. Selamat jalan jenderal!!